Haji Ahmad Bastari
Haji Ahmad Bastari .lahir di Campang Tiga, Ogan Komering Ulu, 1910 - meninggal 13 Oktober 1992) adalah Gubernur Sumatera Selatan untuk periode 1959-1963. Sebelum menjabat sebagai Gubernur Sumatera Selatan, Ia adalah Mayor Jendral (Inspektur jendral) Polisi dan pernah bertugas sebagai Kepala Polisi Daerah Jawa Tengah termasuk Yogyakarta (1954 - 1960).

Pendidikan
Haji Ahmad Bastari dilahirkan di dusun Campang Tiga, dalam suku Serba Nyaman dari keturunan Golongan Pemimpin Adat dan Pemerintahan di daerah Ogan Komering Ulu. Kakeknya Mohammad Lanang gelar Alampak yang meninggal tahun 1923 dalam usia 73 tahun pada saatnya merupakan Kepala Desa Campang Tiga dan pengusaha dagang yang daerah perniagaannya sampai ke Medan dan wilayah Deli. Ayahnya Ahmad Daud gelar Nata diraja bin Krio Alampak (1885 – 1962) merupakan seorang guru yang lebih banyak dikenal dengan panggilan Guru Daud. Tercatat tanggal kelahiran Ahmad Bastari pada tanggal 3 Syawal tahun 1910 (masehi) dan ketika mulai masuk sekolah HIS (Hollands Inlandse School) di Palembang dirubah menjadi tangal 3 Oktober 1912.


Berkat bantuan Ki Agus Mohammad Husein, tahun 1920 Ahmad Bastari bisa masuk HIS (Hollands Inlandse School) di daerah Kebun Duku, Palembang dan berhasil lulus bulan Juni 1927. Pada kelas tujuh di HIS tersebut, Ahmad Bastari mulai mengenal politik dengan mendirikan semacam partai dengan nama Partai Kelas Tujuh dalam rangka melawan beberapa orang keturunan Ambon di sekolah tersebut. Salah satu aktivitasnya adalah membuat semacam selembaran mingguan yang berisi bermacam-macam berita baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang selalu menyindir pihak Pemerintah Kolonial.

Selanjutnya pendidikan Ahmad Bastari dilanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Palembang. 2 tahun di MULO Palembang, Ahmad Bastari pindah ke MULO 1 Weltevreden di Jakarta. Di Jakarta, Bastari sering menghadiri rapat-rapat yang diadakan partai-partai politik di gang kenari dan tempat-tempat lainnya. Selain itu Bastari bergabung juga dengan Pandu Pemuda Sumatera (PPS), Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) serta Indonesia Muda dan menjadi Komisaris cabang MULO.

Setelah menamatkan MULO, Bastari meneruskan sekolah AMS di jalan Hospitaalweg (Jl. Abdulrahman Saleh) dan kemudian pindah ke Mosvia, Bandung. Di Bandung, kegiatan politik terus dilanjutkan dan menjadi wakil Ketua Indonesia Muda cabang Bandung. Namun kegiatan politik tersebut harus dihentikan karena diancam dikeluarkan dari Mosvia oleh direktur Mosvia Mr. Cassutto. Dari Mosvia Bandung, Bastari pindah ke Mosvia Vereegniging di Magelang dan tamat pada bulan Mei 1935.

Pengabdian Sebagai Pegawai Negeri
Dimulai sebagai sementara di kantor Asisten Residen Baturaja bulan Juni 1935 dan kemudian akibat kegiatan politik, Bastari di mutasi kedaerah Banyuasin (daerah lapangan terbang Talang Betutu). Di akhir tahun 1941 ketika Jepang menginvasi Palembang melalui Talang Betutu, Bastari dipindahkan ke Muara Enim dan setelah Jepang mulai menduduki Palembang bulan Februari 1942, Bastari ditugaskan kembali di lapangan terbang Talang Betutu, Banyuasin.

Kemudian karier Bastari sebagai Polisi dimulai dengan mendaftarkan diri dan mendapat pangkat Keibu dan menjadi Kepala Polisi di Lahat yang selanjutnya mengikuti Dikoto Keisatsu Gakko (Sekolah Tinggi Kepolisian) untuk seluruh Sumatera di Padang.

Setelah Jepang kalah, dari Lahat Bastari kemudian menjadi Kepala Polisi seluruh Palembang Hulu sampai Lubuklinggau sampai periode sebelum perjanjian Linggarjati. Berdasarkan perintah Dokter A.K. Gani, Bastari ditunjuk sebagai Kepala Polisi Negara di Sumatera Utara dan Timur termasuk Medan guna mempersiapkan hasil perjanjian Linggarjati. Belanda ternyata melanggar perjanjian tersebut dan Bastari ditahan beserta seluruh anak buahnya dan kemudian diusir ke Palembang.

Akibat didudukinya Palembang dan desa Campang Tiga oleh NICA, Bastari terpaksa bergabung dengan perjuangan republik di Lampung dan menjalankan fungsi sebagai Kepala Polisi Negara di Lampung dan turut berjuang dengan kesatuan tentara di front depan untuk berjuang menghadapi NICA.

Dari Lampung, Bastari ditunjuk sebagai Kepala Polisi Keresidenan Jambi sampai periode Belanda merebut Yogyakarta yang menahan Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Bastari segera bergabung dengan Kolonel Abunjani mundur ke hulu Batanghari atau Muara Tebo. Didalam pengungsian, Bastari menjadi pembantu Residen dalam upaya membangun kembali

Pemerintahan Keresidenan Jambi di daerah gerilya. Disanalah muncul usaha percetakan uang darurat yang sangat dikenal dengan istilah Uang Hitam dari Jambi. Bastari diangkat menjadi Administratur Keuangan dan Percetakan Negara. Usaha tersebut dilakukan sampai bulan July 1949 dan terpaksa dihentikan ketika Belanda menyerbu Muara Tebo. Dari Muara Tebo, perjuangan terpaksa dipindahkan ke Muara Bungo (2 bulan) dan kemudian pindah ke dusun Tantau Ikil di hulu sungai Jujuhan dekat dengan Sumatera Barat.

Perjuangan di Jambi dilakukan sampai tahun 1950. Bulan April 1950, Bastari mendapat jabatan sebagai Kepala Polisi Provinsi Sumatera Tengah yang terdiri dari daerah Sumatera Barat, Jambi, dan Riau. Tahun 1952 Bastari dipindahkan ke Pusat Kepolisian Negara di Jakarta dan memimpin bagian Hukum. Dilanjutkan pendidikan kepolisian di Hendon Police College London di Inggris , diteruskan studi banding ke Italia dan Belanda. 4 bulan pulang ke tanah air, Bastari kembali ke Palembang untuk menjabat Kepala Polisi Propinsi Sumatera Selatan sampai tahun 1954. Selanjutnya Bastari diberi jabatan sebagai Kepala Polisi Jawa Tengah termasuk Yogyakarta selama hampir 7 tahun.

Tahun 1960 sampai 1964, Bastari menjabat Gubernur Sumatera Selatan. Di periode kegubernuran ini Bastari telah melakukan hal-hal, seperti turut memfasilitasikan pembangunan Pupuk Sriwijaya dengan membantu Ir. Ibrahim Zahir, arsitek PUSRI, menimbun seluruh areal Pusri dengan mengeruk pasir sungai Musi, serta menyediakan infrastrukur pembangunan bersama dengan Haroen Sohar membangun Universitas Sriwijaya. Mengusahakan dana pembangunan jembatan di sungai Musi dengan mendesak Presiden Sukarno untuk memberikan US$ 25 juta hasil bantuan Pampasan Perang dari Pemerintah Jepang guna dibangunkan jembatan penghubung (Jembatan Ampera). Serta membangun IAIN Raden Patah di Palembang.

Setelah pensiun, beliau masih aktif di Konstituante, MPRS dan kemudian menjabat Ketua Masyarakat Perkayuan Indonesia (MPI) (3 periode) dan Ketua Gapkindo (gabungan Pengusaha Karet Indonesia) (3 periode). Ia meninggal dunia tahun 13 Oktober 1992 dan saat ini namanya diabadikan sebagai nama salah satu jalan di Palembang.

sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Achmad_Bastari

Read More......
Rabu, 03 Februari 2010 Posted in | | 9 Comments »


Sejarah

Komering merupakan salah satu suku atau wilayah budaya di Sumatra Selatan, yang berada di sepanjang aliran Sungai Komering. Seperti halnya suku-suku di Sumatra Selatan, karakter suku ini adalah penjelajah sehingga penyebaran suku ini cukup luas hingga ke Lampung.

Suku Komering terbagi beberapa marga, di antaranya marga Paku Sengkunyit, marga Sosoh Buay Rayap, marga Buay Pemuka Peliyung, marga Buay Madang, dan marga Semendawai. Wilayah budaya Komering merupakan wilayah yang paling luas jika dibandingkan dengan wilayah budaya suku-suku lainnya di Sumatra Selatan. Selain itu, bila dilihat dari karakter masyarakatnya, suku Komering dikenal memiliki temperamen yang tinggi dan keras.

Berdasarkan cerita rakyat di masyarakat Komering, suku Komering dan suku Batak, Sumatra Utara, dikisahkan masih bersaudara. Kakak beradik yang datang dari negeri seberang. Setelah sampai di Sumatra, mereka berpisah. Sang kakak pergi ke selatan menjadi puyang suku Komering, dan sang adik ke utara menjadi puyang suku Batak.


Berdasarkan temuan dan analisa sejarah, Dusun Minanga Tuha, di daerah marga Semendawai Suku I, atau dusun keenam dari Dusun Gunung Jati diperkirakan merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya bagian awal. Sedangkan Palembang diyakini sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya bagian tengah, dan Jambi sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya bagian akhir. Kala itu, Minanga Tuha, sebagai kota pelabuhan, atau tempat berlangsungnya aktivitas bongkar dan muat barang serta bersandarnya kapal-kapal Sriwijaya maupun kapal-kapal asing yang memiliki baik hubungan dagang, politik, budaya, maupun religi dengan Sriwijaya.

Sejak abad pertengahan, suku Komering, sama halnya dengan rumpun Melayu lainnya, menerima Islam sebagai sebuah agama dan kepercayaan. Kedatangan Islam itu melahirkan mitos. Mitosnya mengenai seorang panglima dari bala tentara Fatahilah, Banten, bernama Tandipulau, yang menjadi tamu di daerah marga Semendawai Suku III. Ia datang menggunakan perahu menelusuri Sungai Komering. Tandipulau berlabuh dan menetap di daerah marga Semendawai Suku III, tepatnya di Dusun Kuripan. Keturunan Tandipulau membuka permukiman baru di seberang sungai atau seberang dusun Kuripan, yang disebut Dusun Gunung Jati. Selanjutnya, marga Semendawai disebut keturunan Tandipulau dari Dusun Kuripan.

Tandipulau dalam bahasa Komering berarti ‘tuan di pulau’. Makamnya, yang terletak di Dusun Kuripan, hingga kini masih terpelihara. Masyarakat Komering, khususnya marga Semendawai, sering berziarah kubur ke makam tersebut.

Rumah tradisi Komering
Salah satu tanda kebudayaan Komering dari masa lalu, yang hingga kini tetap terjaga adalah rumah. Pada masyarakat Komering, khususnya marga Semendawai, memiliki atau mengenal dua jenis rumah tempat tinggal yang bersifat tradisional, yakni rumah ulu dan rumah gudang.

Berdasarkan struktur bangunan, antara rumah ulu dan rumah gudang pada prinsipnya sama, tapi pembangunan rumah gudang umumnya cenderung mengalami beberapa modifikasi, dan tidak patuh lagi seperti rumah-rumah ulu, terutama untuk arah hadap seperti hulu (utara), liba(selatan), darak (barat), dan laok (timur). Perbedaan lainnya, pada rumah gudang, selalu dibuat atau ada ventilasi yang posisinya tepat berada di atas setiap pintu dan jendela, sedangkan pada rumah ulu tidak mengenal ventilasi udara.

Baik rumah gudang maupun rumah ulu merupakan jenis rumah panggung atau rumah yang memiliki tiang penyangga. Bahan utama pembuatan rumah gudang dan ulu adalah kayu atau papan.

Lantaran rumah gudang Komering lebih muda jika dibandingkan dengan rumah ulu, rumah ini sudah mengenal dan menerapkan kombinasi antara bahan kayu dan paku, kaca, cat, porselen atau marmer, genteng, dan semen. Misalnya banyak tangga atau disebut ijan mukak rumah gudang yang terbuat dari semen berlapis keramik, atau daun pintu dan jendelanya sudah dikombinasikan dengan kaca. Bahkan, kecenderungan akhir-akhir ini, rumah gudang sudah menggunakan tiang penyangga teknik cor beton dan atau batu bata, yang sebelumnya dari gelondong. Dan, di antara tiang rumah umumnya sudah pula diberi dinding semi permanen atau permanen, kemudian dijadikan tempat tinggal atau lambahan bah (rumah bawah). Mengingat bahan kayu yang saat ini semakin langka dan mahal, tampaknya masyarakat Komering lebih banyak memilih atau membangun jenis rumah gudang.

Rumah ulu sepenuhnya menggunakan bahan kayu atau papan. Tiang penyangga menggunakan gelondongan, lalu tangga, dinding, pintu, dan jendela menggunakan papan. Atap rumah dibuat dari daun enau dengan teknik rangkai-tumpuk. Tapi mengingat daya tahan dan gampang terbakar, sekarang atap daun enau ini diganti atap genteng.

Sambungan kayu pada rumah ulu tidak menggunakan paku, tetapi menggunakan pasak kayu atau bambu, termasuk untuk engsel pintu, dan jendelanya juga masih menggunakan teknik engsel pasak. Mengingat bahan kayu yang saat ini mahal dan langka, sejak tiga dasawarsa terakhir, masyarakat Komering mulai jarang membangun rumah ulu.

Berdasarkan struktur bangunannya, rumah ulu terbagi atas tiga bagian, yakni bagian depan (garang), rumah bagian tengah atau utama (ambin, haluan, dan kakudan) serta rumah bagian belakang (pawon). Bagi masyarakat Komering, rumah tengah atau utama bersifat sakral, sedangkan garang atau pawon bersifat profan sehingga pada pintu depan (rawang balak) dari garang ke haluan, dan juga pada pintu belakang (rawang pawon) dari kakudan ke pawon, konstruksi kusen pintunya dibuat tinggi atau ada langkahan (ngalangkah). Rumah tengah atau utama dibagi menjadi tiga ruang, yaitu ambin atau kamar tidur, haluan, dan kakudan.

Berdasarkan struktur lantai pada rumah ulu, dapat diketahui setiapruang memiliki hierarkis yang ditandai peninggian atau merendahkan lantai ruangannya.

Ambin memiliki kedudukan yang tertingggi (dunia atas), selanjutnya haluan dan kakudan (dunia tengah) serta garang dan pawon (dunia bawah). Untuk lantai haluan sama tinggi dengan lantai kakudan , dan di antara keduanya tidak terdapat dinding.

Berdasarkan hierarki rumah ulu, haluan memiliki tingkatan yang sama dengan kakudan, namun keduanya memiliki fungsi yang berbeda. Haluan (perempuan) dan kakudan (laki-laki). Sebagai penanda bahwa adanya perbedaan fungsi antara haluan dan kakudanp>, di antara lantai haluan dan kakudan diberi kayu balok panjang yang posisinya melintang, dan di atasnya ada sangai (tiang), sebagai perantara haluan dengan kakudan.

Sedangkan untuk lantai garang dan pawon (dunia bawah) posisinya paling rendah baik dari lantai ambin, haluan, maupun kakudan. Haluan posisinya berada di tengah-tengah rumah ulu, diapit dari arah sebelah laok-darak (barat-timur) dan hulu-liba/hilir (utara-selatan), yakni oleh ambin-kakudan dan garang-pawon.

Ambin (kamar tidur) memiliki kedudukan tertinggi dan suci, sejalan dengan pandangan masyarakat Komering bahwa keluarga harus dijunjung tinggi kesucian dan kehormatannya. Karenanya, dalam struktur rumah ulu, posisi ambin di sebelah laok (barat=arah salat/kiblat).

Haluan adalah perempuan, sedangkan kakudan adalah laki-laki, itulah sebabnya balai pari (lumbung padi = perempuan) posisinya tepat di bawah haluan, dan kandang hewan berada di bawah kakudan (tanduk =laki-laki).

Dalam sebuah acara adat yang disebut Ningkuk, haluan hanya diperuntukkan bagi perempuan dan kakudan tempat laki-laki. Jika ada pemuda yang bertamu ke rumah seorang gadis, si pemuda hanya boleh duduk di kakudan, dan si gadisnya harus berada di haluan. Untuk tamu yang baru dikenal biasanya akan dijamu di garang, sedangkan untuk tamu-tamu yang sudah dikenal baik oleh tuan rumah, biasanya akan dipersilakan masuk dengan melangkah rawang balak (hubungan darah dan mentalitas kelompok atau keluarga).

Dalam upacara adat melamar, ketika pihak keluarga calon besan mempelai laki-laki baru datang, terlebih dahulu mereka akan ditempatkan di garang, setelah menjalani beberapa prosesi, barulah rombongan dapat dipersilakan masuk ke rumah tengah atau utama, dalam hal ini haluan untuk perempuan dan kakudan bagi laki-laki. Demikian pula pada saat akan melangsungkan akad nikah, posisi duduk calon mempelai laki-laki harus di kakudan, sedangkan calon mempelai wanita di haluan. Setelah selesai akad nikah, baru kedua mempelai dipersandingkan di pelaminan yang berada di ruang haluan, posisi atau arah hadap pelaminan tempat kedua mempelai bersanding biasanya ke utara atau hulu.

Sumber tulisan: http://www.mediaindonesia.com/

Read More......
Posted in | | 16 Comments »























Read More......
Selasa, 02 Februari 2010 Posted in | | 0 Comments »


A. Sejarah Desa Campang Tiga
Campang Tiga adalah sebuah dusun yang terletak sekitar 130 kilometer dari Kota Palembang, tepat di pinggiran tebing Sungai Komering yang masuk dalam wilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu. Pada zaman dulu untuk mencapai desa Campang Tiga ini orang harus mendayung perahu dari Palembang selama sekitar 6 hari. Sedangkan kalau ke Palembang dengan mengikuti arus Sungai hanya memakan waktu 2 hari.
Baru pada sekitar tahun 1930 ada jalan darat serta jembatan yang terbuat dari timbunan tanah liat dan kerikil. Pada tahun 1990 sarana perhubungan mulai lancar setelah ada jalan aspal dan jembatan beton dimana-mana.

Kehidupan di desa ini berdasarkan kekerabatan dan kebersamaan yang hidup dalam setiap dusun. Dengan soko gurunya adalah Adat Penyimbang. Penyimbang sendiri adalah menerima giliran. Menjadi penyimbang adat adalah merupakan suatu kebanggaan, sehingga dapat diikutsertakan di dalam setiap gerak langkah yang hidup di pedesaan sejak ribuan tahun yang lalu.


Sedangkan pusat-pusat pemerintahan ialah Gunung Batu, Cempaka/ Campang Tiga, dan Menanga/ Betung. Untuk daerah marga Semendawai Suku Dua, pusat pemerintahannya adalah dari satu tempat ke tempat lain yakni antara Cempaka dan Campang Tiga. Dari sinilah timbul perebutan masing-masing keluarga yang merasa berhak untuk menduduki puncak pemerintahan dalam Marga Semendawai Suku Dua.

Asal mula terbentuknya Desa Campang Tiga ini, merupakan hasil dari pemikiran orang-orang terdahulu, yang berjuang disamping menyebarkan agama Islam. Menurut asal mulanya seorang puyang yang bernama Sultan Hamimum Hamim atau Puyang Tun Di Pulau, yang menurut ceritanya dari nenek moyang di Campang Tiga berasal dari keturunan Arab. Pada waktu itu Puyang menetap disuatu tempat dan lahan tanah yang dikelilingi oleh Sungai dan Rawa.

Desa ini bernama Desa Simpang Tiga, karena terletak dipersimpangan tiga arah. Pada masa itu pimpinan Agama dipegang oleh Puyang Ratu Nyaman dibagian barat, Puyang Tanda Pasai dibagian timur, Puyang Tuan Syeh Abdurrahman dibagian utara, dan Puyang Panghulu Sabtu dibagian selatan.

Waktu terus berlalu dan berjalan dengan baik, pemerintahan dipegang oleh Puyang Ratu Nyaman. Setelah beliau meninggal kemudian digantikan dengan putranya Ahmad Daud. Pada waktu itu desa yang namanya Simpang Tiga diganti atas musyawarah dan mufakat oleh tokoh Agama, adat, dan pemerintahan menjadi Desa Campang Tiga.

Pada masa penjajahan belanda, kekuasaan desa dipimpin oleh seorang tokoh bernama Ahmad Daud Ratu Nyaman, yang membawa desa ini berkembang menjadi maju. Kekuasaan pun berganti dan digantikan putranya yang bernama KH. Saleh Muzani, sedangkan putra yang lain dari Ahmad Daud bernama Ahmad Bastari beliau dikenal sosok yang tidak pernah terlupakan karena beliau pernah menjabat sebagai Gubernur Sumatera Selatan yang pertama.

Kemudian pemerintahan KH. Saleh Muzani berakhir digantikan oleh pimpinan yang tak kalah penting, cerdik, pintar dan berdedikasi tinggi yaitu Hasbi Burhan. Setelah berakhir kemudian digantikan oleh Macan Negara, dilanjutkan Muhammad Singa Dinata, kemudian Ratu, dan sekarang dipimpin oleh A. Wahab Ahmad Gelar Tanda Sakti. Demikian sejarah Desa Campang Tiga yang sampai sekarang sudah cukup maju.


B. Keadaan Geografis
Desa Campang Tiga yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Cempaka Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur. Batas-batas Desa Campang Tiga adalah: sebelah utara berbatasan dengan desa Gunung Jati, sebelah selatan berbatasan dengan desa Sukaraja, sebelah barat berbatasa dengan desa Kuripan dan Negeri Sakti, sebelah timur berbatasan dengan Persawahan dan Lebak Meluai Indah.

Adapun luas wilayah Desa Campang Tiga secara keseluruhan 15 kilometer persegi. Struktur tanah terdiri dari lahan sawah 40% dan perkebunan 60%. Keadaan geografis sangat cocok untuk pertanian, perkebunan dengan penghasilan karet, sawit, duku, durian, pisang, padi, jeruk, sayuran dan lain-lain.

Desa Campang Tiga terletak sangat strategis dalam wilayah Kecamatan Cempaka, 130 kilometer dari kota Palembang, 102 kilometer dari ibu kota Kabupaten Martapura, dan 16 kilometer dari ibu kota Kecamatan Cempaka.
Desa Campang Tiga merupakan penghasilan duku, durian, pisang yang menjadi andalan petani dan sangat dikenal dikota-kota besar di Indonesia bahkan duku komering sudah menjadi salah satu andalan masyarakat komering.


C. Struktur Pemerintahan
Pada saat ini pemerintahan desa dipimpin oleh Kepala Desa yang bernama A. Wahab Ahmad Gelar Tanda Sakti, dibantu oleh para staf pemerintahan desa. Desa Campang Tiga di samping ada seorang Kepala Desa, Sekretaris Desa, 3 (tiga) Kepala Urusan, 7 (tujuh) Kepala-kepala Dusun. Desa Campang Tiga terletak dijalan poros provinsi, yang dilalui semua jenis kendaraan baik roda dua, maupun kendaraan roda empat.
Penerangan di desa Campang Tiga ini berupa aliran listrik yang menjadikan desa Campang Tiga sudah cukup maju, apalagi pada malam hari lampu-lampu jalan yang sudah bisa difungsikan menambah keindahan desa ini.
Adapun stuktur pemerintahan Desa pada Tahun 2004-2009 ini adalah sebagai berikut:


STRUKTUK PEMERINTAHAN DESA CAMPANG TIGA KECAMATAN CEMPAKA
KABUPATEN OKU TIMUR

Dibantu oleh ketua-ketua RT dan sebagai mitra kerja pemerintahan telah dibentuk yaitu BPD (Badan Permusyawaratan Desa) strukturnya sebagai berikut:
Ketua : Lukman Umur
Wakil Ketua : Kumala Arifin
Anggota-Anggota :Ranggo Sakban, Fauzi Saleh, Antam, Barlian, A. Daud, A. Rivai, Hasan Saleh, A. Roni


D. Mata Pencaharian dan Jumlah Penduduk
Mata pencaharian penduduk Desa Campang Tiga terdiri dari petani, buruh harian, wiraswasta, PNS, TNI/ POLRI, Untuk pertanian dengan mengandalkan sistem tadah hujan yaitu panen 1 tahun satu kali, dan selanjutnya tanaman palawija. Seperti dalam tabel berikut ini:


MATA PENCAHARIAN PENDUDUK DESA CAMPANG TIGA

No Jenis Pekerjaan Frekuensi Keterangan
1 Petani 44% 1072 Orang
2 Pedagang 12% 293 Orang
3 PNS 7% 170 Orang
4 TNI/ POLRI 2,5% 60 Orang
5 Buruh Harian 9% 220 Orang
6 Wiraswasta 24% 585 Orang
7 Kontraktor 1% 25 Orang
8 Pengrajin Tenun 0,5% 12 Orang

Tabel di atas menjelaskan bahwa di Desa Campang Tiga mata pencaharian yaitu petani 1072 o rang, pedagang 293 orang, PNS 170 orang, TNI/POLRI 60 orang, buruh harian 220 orang, wiraswasta 585 orang, kontraktor 25 orang, pengrajin tenun atau menjahit terdapat 12 orang. Dari jumlah penduduk 2437 yang menjadi petani lebih banyak dari pada mata pencaharian lain.
b. Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk desa Campang Tiga dapat kita lihat dalam tabel berikut ini:


E. Pendidikan
Lembaga pendidikan di Desa Campang Tiga berupa di bawah naungan lembaga pendidikan Dinas Pendidikan Nasional dan Departemen Agama. Lembaga pendidikan dibawah Dinas Pendidikan yaitu:


LEMBAGA PENDIDIKAN DESA CAMPANG TIGA
No Nama Sekolah Kepala Sekolah Ket

1. SMA Negeri 1 -> kepala sekolah : Herman, S.Pd
2. SMP Negeri 1 -> kepala sekolah : Subagiyo Hadi Susanto, S.Pd
3. SMA Bina Insan -> kepala sekolah : Ir. Fusito Hy, MT
4. SD Negeri 1 -> kepala sekolah :Ernawati, A.Ma
5. SD Negeri 2 -> kepala sekolah :Nuraini, A. Ma
6. SD Negeri 3 -> kepala sekolah :Halimah, A.Ma
7. SD Negeri 4 -> kepala sekolah :Aminah, A. Ma
8. SD Negeri 5 -> kepala sekolah :Hanuna, A. Ma
9. SD Negeri 6 -> kepala sekolah :Aminah, A.Ma
10. TPA Darussalam -> kepala sekolah :Kumala Arifin
11. PAUD -> kepala sekolah : Yanti


Berdasarkan tabel di atas jumlah SD Negeri ada 6 hal ini, sedangkan jumlah SMP ada 1, hal ini tidak mencukupi dari tamatan SD seharusnya di Desa Campang Tiga harus di bangun lagi SMP yang lain agar bisa mencukupi dan menampung dari lulusan SD. Sedangkan SMA Negeri ada 1 dan swasta ada 1 hal ini sudah mencukupi siswa lulusan SMP, dan TPA ada 1 belum mencukupi seharusnya setiap Desa mempunyai 3 masjid, PAUD juga belum mencukupi seharusnya bisa dibangun 4 PAUD di Desa Campang Tiga.
Keadaan pendidikan di Desa Campang Tiga dapat kita lihat dalam tabel di bawah ini:


KEADAAN PENDIDIKAN DESA CAMPANG TIGA

No Tingkat Pendidikan Frekuensi Keterangan

1. Tamatan SD 1,5% 37 Orang
2. Tamatan SMP 10% 244 Orang
3. Tamatan SMA 55% 1340 Orang
4. Tamatan D1 2% 220 Orang
5. Tamatan D2 1,5% 342 Orang
6. Tamatan D3 3,5% 87 Orang
7. Tamatan S1 5% 124 Orang
8. Tamatan S2 2% 50 Orang


Maka berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa sebagian besar penduduk Desa Campang Tiga memiliki tamatan SD berjumlah 37 orang, tamat SMP berjumlah 244 orang, tamatan SMA berjumlah 1340 orang, tamatan D1 220 orang, tamatan D2 berjumlah 342 orang, tamatan D3 87 orang, tamatan S1 berjumlah 124 orang dan tamatan S2 berjumlah 50 orang. Rata-rata pendidikan di Desa Campang Tiga yaitu tamatan SMA.

F. Sosial Budaya
Keadaan sosial budaya masyarakat Desa Campang Tiga sangat rukun, dapat dilihat pada kegiatan sehari-hari. Lingkungan yang asri disekitar desa banyak pepohonan yang rindang, udara yang sejuk. Penanaman pohon pelindung sangat berarti di samping pelestrian lingkungan hidup, mencegah terjadinya banjir dan lain-lain
Pengelolaan lingkungan hidup berazaskan pelestarian lingkungan hidup yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Kekompakan dan gotong royong merupakan salah satu simbul yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarat Desa Campang Tiga dibidang apapun antara lain: pertama, kebersihan lingkungan dilaksanakan setiap hari jum’at pagi dilingkungan rumah masing-masing, berupa saluran air dan limbah rumah tangga agar masyarakat tetap sehat dan terhindar dari penyakit seperti malaria dan lain-lain. Bagi pemilik kandang ayam atau binatang ternak, tim kesehatan tetap terus memantau untuk menghindari gejala penyakit, dikoordinasi oleh Kepala Desa, perangkatnya dan masyarakat desa setempat. Pada hari-hari besar Islam, masyarakatmembersihkan masjid, langgar dan musolla yang secara rutin dilaksanakan dengan membiasakan jum’at bersih.

Kedua, menjaga keamanan, faktor keamanan menjadi salah satu program utama. Masyarakat akan merasa nyaman mencari nafkah, bekerja, meninggalka tempat tinggal mereka manakala keamanan terjamin. Pada waktu malam hari ada sebagian masyarakat melaksanakan jaga malam dengan jadwal yang ditetapkan oleh Kepala Desa dan RT.
Ketiga, yaitu peringatan hari Nasional dan hari besar lainnya setiap tahun menjadi agenda rutin untuk dilaksanakan seperti 17 Agustus, masyarakat Campang Tiga melaksanakan agenda kegiatan sosial kemasyarakatan seperti lomba baca alqur’an, lomba azan, lomba pakaian adat, mengadakan pertandingan bola voli, tenis meja, tarik tambang, panjat pinang, dan untuk ibu-ibu lomba masak.

Ketiga kegiatan di atas sangat mempengaruhi majunya pemerintahan di Desa Campang Tiga, dengan adanya kegiatan-kegiatan yang berbentuk positif akan terciptanya suasana yang damai, saling tolong menolong antar warga sekitar, terjalin adanya sikap saling menghargai, dan dengan adanya kegiatan-kegiatan tersebut masyarakat akan lebih memahami pentingnya bermasyarakat

Read More......
Posted in | | 30 Comments »

Kehidupan masyarakat komering berpusat disekitar Danau Ranau, Kabupaten Ogan Komering Ulu. Daerah ini dikenal dengan nama Sakala Berak terletak di daratan tinggi kaki Gunung Pasagi dan Gunung Seminung tempat Danau Ranau berada. Secara harfiah, kata Sakala atau Sagala berarti Komering sedangkan kata Berak berarti luas. Sehingga daerah sekitar itu disebut masyarakat setempat dengan nama Komering yang luas.

Nenek moyang orang komering diperkirakan berasal dari Tiongkok Selatan, pada ribuan tahun yang lalu turun ke laut melalui sungai-sungai besar di Cina yang bermuara ke selatan. Akhirnya mereka tersebar di beberapa wilayah Sumatera Selatan, Lampung dan Sumatera Utara sekarang ini. Sehingga tak mengherankan bila sering terlihat suatu persamaan di dalam gerak dan tingkah laku antara orang Komering, Lampung dan Batak. Bahkan ada faham yang dibenarkan dalam kehidupan masyarakat itu bahwa mereka berasal dari tempat dan keturunan yang sama, hanya saja lambat laun sikap dan pertumbuhan makin memisah mencari jalan sendiri-sendiri.


Seperti kehidupan dan adat istiadat daerah lain, masyarakat Komering dan Lampung juga menjadikan suatu tempat yang dianggap keramat (dihormati) itu adalah sekitar Kota Liwa (ibukota Kabupaten Lampung Barat sekarang ini). Dari daerah asal itu lambat laun nenek moyang menuruni gunung dan lembah menyusuri beberapa sungai yang bermuara di laut Jawa. Orang Komering turun hingga ke Muara Masuji dan Sugihan. Sedangkan orang Lampung menyusuri Sungai Tulang Bawang, Seputih dan Sekampung yang akhirnya membentuk golongan masing-masing sampai ke Gunung Raja Basa.

Ribuan tahun kemudian barulah daerah-daerah yang mereka huni dan terisolir muulai terbuka, sehingga timbul hubungan dan komunikasi dengan dunia luar. Terbukanya daerah ini karena adanya aktifitas dari kerajaan-kerajaan yang ada. Kerajaan ini sendiri timbul karena terjadinya hubungan komunikasi antara masyarakat yang datang dan menetap.

Pada masa itu agama dan faham yang dianut oleh masyarakat adalah kepercayaan pada yang gaib-gaib dan yang maha kuasa (Animisme dan Dinamisme). Termasuklah di dalamnya menyembah kepada matahari, bulan, bintang-bintang dan gunung-gunung bahkan menyembah makhluk-makhluk yang dipercayai ada di sekitar manusia. Beberapa masa kemudian masuklah pengaruh dan ajaran agama Hindu dan Budha yang lebih mempercepat tumbuhnya kerajaan-kerajaan besar dan kecil. Hingga akhirnya masuklah pengaruh dan ajaran-ajaran dari Jawa dan Agama Islam.

Didalam kehidupan budaya adat Komering dan Lampung sendiri dikenal suatu adat yang dikenal dengan Adat Penyimbang. Menurut pengertian aslinya berasal dari kata Simbang yang artinya giliran atau gantian, sehingga di sebutlah dengan arti giliran memimpin. Jadi dalam adat penyimbang seseorang dapat memimpinsesuai dengan adat yang berlaku, namun kedudukannya sebagai pemimpin kelak akan diganti dengan yang lain sesuai dengan musyawarah dan mufakat.
Hingga kini gelar penyimbang itu terus dipakai oleh orang Komering. Umpamanya ada nama penyimbang Ratu, penyimbang Tulin, penyimbang Marga serta gelar-gelar lainnya. Hal ini diberikan sesuai dengan rapat adat yang diadakan bila seseorang memasuki jenjang pernikahan. Gelar itu hampir mutlak diperlukan bagi setiap laki-laki Komering yang memasuki jenjang pernikahan. Kalau gelar itu tidak dimilikinya maka keturunannya agak gelap, artinya ia tidak mempunyai kedudukan dalam lapangan adat.

Adat istiadat yang ada kemudian secara berangsurangsur masyarakat Komering penduduknya memasuki lapangan usaha dan kegiatan masing-masing. Diantaranya ada golongan yang pada umumnya lebih cakap dalam bidang pemerintahan untuk mengurusi kepentingan umum. Ada pula yang ahli dalam bidang kebatinan dan keperkasaan dengan tenaga-tenaga gaib. Bahkan ada yang hanya mengurusi soal agama semata-mata serta ada yang ahli dalam soal berniaga.

Sehingga dalam kehidupan bermasyarakat timbul apa yang dinamakan suku. Suku-suku yang terbentuk dalam golongan itu adalah: pertama, golongan pemerintaha yang menyebut lingkungannya dengan nama Suku Serba Nyaman. Kedua, golongan kebatinan disebut Suku Anak Putu. Ketiga, golongan Pasirah atau Kepala Marga disebut Kampung Pangiran. Keempat, golongan pengusaha dan pedagang disebut Suku Busali. Kelima, golongan Agama disebut Suku Kaum. Keenam, Suku Kampung Darak, dan yang ketujuh, Suku Karang Diwana.

Ketujuh suku atau golongan di atas membentuk masyarakat bersama yang teratur, mereka membentuk tiuh atau dusun tempat tinggal. Akhirnya mereka membuat pucuk pimpinan yang lebih besar gabungan dari dusun-dusun itu yang disebut Marga sekarang disebut dengan Kecamatan. Dulu nama Kecamatan adalah Semendawai kemudian sekarang diganti dengan Kecamatan Cempaka.

Read More......
Posted in | | 1 Comments »